Menggagas Pengelolaan Air Partisipatif

Posted by Suyatno Senin, 07 Januari 2013 0 komentar



Artikel ini Pernah dimuat di Rubrik Opini Media Indonesia Edisi 8 Agustus 2012 

Oleh : Suyatno
Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Terbuka

MEMASUKI musim kemarau tahun ini,  sejumlah  kawasan telah mengalami krisis air. Persediaan air di berbagai daerah tak memadai. Musibah kekeringan mengancam sebagian wilayah di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini.
Pulau Jawa dan Bali saat ini menghadapi krisis air (Media Indonesia, 06/08/12). Penyebabnya yakni terus bertambahnya kebutuhan air dan kemarau panjang yang terjadi tahun ini. Penanganan bersifat komprehensif menjadi tuntutan yang tak bisa lagi ditunda.
Kekeringan merupakan kondisi kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam masa yang berkepanjangan beberapa bulan hingga bertahun-tahun. Biasanya kejadian ini muncul bila suatu wilayah secara terus-menerus mengalami curah hujan di bawah rata-rata. Kekeringan dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan suatu wilayah kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada pertanian dan ekosistem yang ditimbulkannya. Dampak ekonomi
dan ekologi kekeringan merupakan suatu proses sehingga batasan kekeringan dalam setiap bidang dapat berbeda-beda. Tetapi suatu kekeringan yang singkat tetapi intensif dapat pula menyebabkan kerusakan yang signifikan
Air merupakan sumber daya alam (SDA) yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Rakyatlah yang berkaitan langsung dengan air. Ia sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tuntutan untuk bisa menikmati air menjadi hak semua orang. Sehingga pengelolaannya juga menjadi tanggung jawab semua pihak. Tidak hanya pemerintah, mereka juga harus mengupayakan pelestariannya. Peran aktif rakyat dalam pengelolaan SDA air merupakan kebutuhan yang tak terhindarkan.
Bagaimanakah seharusnya pengelolaan kelestarian dan kualitas air dilakukan ? Apakah telah memberi ruang yang semestinya bagi peran serta masyarakat? Diperlukan peran serta masyarakat dalam pengelolaan SDA serta keterbukaan memperoleh kesempatan untuk mengaksesnya. Bukankah bumi dan air dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran seluruh rakyat. Tidak hanya sebagian saja.
Korporatis
            Kebijakan negara mengenai sumber daya air (SDA) tertuang dalam UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air telah membingkai pengelolaan air di negeri ini. Namun pembahasan ini difokuskan pada sistem birokrasi dalam implementasi kebijakan ini dan bagaimana kemampuan komunitas lokal bisa memainkan peranannya. Hal ini didasarkan oleh sifat lingkungan yang speshfik, maka implementasi kebijakan pengelolaan SDA dan lingkungan untuk setiap tempat cenderung berbeda. Namun prosedur penyusunan kebijakan dilaksanakan dengan metode yang relatif sama.
Hal yang patut dilihat kemudian institusi mana yang diberi kewenangan melakukan pengelolaan dan pengendalian. Sejumlah konsekuensi dan kecenderungan dari pemberian kewenangan ini terhadap akses SDA oleh masyarakat penting diketahui. Secara pakem kewenangan merupakan kekuasaan yang membutuhkan syarat pokok adanya pengakuan dari masyarakat. Hingga sangat ironis bila kewenangan yang dilimpahkan ini nir akseptabitas publik. Pengabaian terhadap pengakuan dan keterlibatan masyarakat itu bisa menghilangkan makna kewenangan yang dilimpahkan.
 Penting juga untuk dilanjutkan dengan pemaparan tentang peran serta yang lebih luas bisa dimainkan oleh masyarakat yang mengarah pada tanggung jawab dan insentif yang lebih menjamin akseptabilitas publik (public acceptability). Di sini dilihat komitmen lembaga terhadap visi dan misi pengelolaan SDA air.  Selain itu kemampuan lembaga terkait dengan keahlian SDM di dalamnya. Rekam jejak lembaga dan pemahaman terhadap kondisi sosial dan ekologi lokal juga menjadi tumpuan penerimaan masyarakat.
Kebijakan yang ada ternyata kental dengan korporatisme negara. Artinya lembaga yang terkait erat dengan civil society sangat ditentukan oleh negara. Dalam hal ini pemerintah daerah dengan unit pelaksana di dalamnya  merupakan representasi negara. Pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran air  dikerjasamakan dengan Korporasi Pengelola Wilayah Sungai.. Pengujian kualitas air dilakukan dengan penunjukkan terhadap laboratorium didasarkan pemilikan sertifikat Komite Akreditasi Nasional. Korporatisme negara terjadi karena lembaga pengelola sangat ditentukan oleh pemerintah (negara). Padahal kinerja lembaga-lembaga tersebut terkait dengan sejumlah stakeholder, yang terbanyak melibatkan civil society.
            Kecenderungan tersebut berakibat keberpihakan pengelolaan kepada kepentingan rakyat banyak dipertanyakan. Penunjukkan itu juga rentan terhadap terjadinya penyimpangan apalagi bila telah melibatkan para pemilik modal. Terlebih bila sudah terjebak pada kepentingan yang sempit dan sesaat yang lebih mudah terjadi.
Partisipasi
            Keterbatasan peran masyarakat tergambar dalam kebijakan itu. Meski terdapat bab tentang peran serta masyarakat, namun hanya dikatakan dilaksanakan melalui pemberian saran, pendapat dan penyampaian informasi kepada pejabat berwenang serta kegiatan pelestarian kualitas dan pengendalian pencemaran air pada sumber air. Penyampaian saran, pendapat dan informasi menunjukkan posisi rakyat yang lemah, karena bisa diterima, bisa juga tidak oleh pejabat.
Berbeda misalnya jika diberi ruang untuk menyampaikan keluhan atau keberatan jika merasa kebutuhan akan air terganggu. Ikut serta kegiatan pelestarian menunjukkan bahwa aktivitasnya sangat ditentukan oleh pemerintah berwenang. Masyarakat hanya menjadi pelengkap. Berbeda dengan masyarakat yang berinisiatif dan bertanggung jawab terhadap kelestarian itu. Semua hal itu penting karena kebijakan tidak akan berarti apa-apa tanpa peran serta masyarakat.
            Perlu ruang yang lebih luas bagi peran serta masyarakat dalam pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran air lebih tercermin dalam kebijakan pemerintah, termasuk perda. Meski tiap daerah menghadapi persoalan berbeda, namun secara umum ada dua peran masyarakat yang penting. Pertama, insentif dari pengelolaan SDA air yang akan diperoleh masyarakat patut diakomodasi dalam kebijakan. Hal ini akan mendorong inisiatif bagi peran serta masyarakat yang lebih optimal, sebab mereka yang akan memperoleh manfaatnya, maka merekalah yang harus bertanggung jawab.
            Kedua, terakomodasinya kepentingan berupa penempatan kebutuhan mereka akan air menjadi pertimbangan utama pelestarian dan pengendalian. Konkretnya keluhan dan keberatan akan gangguan air akibat kebiajakan pembangunan pemerintah patut mendapatkan respon yang semetinya. Kejelasan peranan akan membawa pengelolaan SDA menjadi hak dan tanggung jawab bersama.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Menggagas Pengelolaan Air Partisipatif
Ditulis oleh Suyatno
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://disuyatno.blogspot.com/2013/01/menggagas-pengelolaan-air-partisipatif.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Redesigned by Info Terbaru Original by Bamz | Copyright of BINTANG PANJER WENGI. Untuk SEO lebih lanjut kunjungi Trik SEO terbaru.